Minum dan Berhias Diri Pakai Kandura
Suasana di studio keramik di
Jalan Ligar Kencana B8, Bandung siang (11/11) itu terlihat sibuk. Suara
porselen yang bersinggungan terdengar memecah keheningan. Dua orang pria
bercelana pendek dan kaos oblong sedang menyusun gelas-gelas berwarna putih.
Tiga orang perempuan yang entah kebetulan atau tidak, sama-sama berbaju putih duduk di sudut ruangan. Dengan wajah serius, mereka bergelut dengan barang-barang yang ada di meja. Ketiga perempuan tersebut adalah Tisa Granicia, Nuri Fatima, dan Kanya. Mereka sedang mempersiapkan kebutuhan untuk pameran akhir November mendatang bersama Kandura.
Kandura merupakan nama bisnis keramik yang berdiri atas pertemanan Bathsebha Satyaalangghya (Ghia), Tisa Granicia (Tisa), dan Fauzi Prasetya (Fauzi). Di antara usaha keramik seperti F. Widayanto, Jenggala, dan Studio 181 milik Erlina, Kandura termasuk yang termuda. Tahun ini Kandura baru menginjak usia kelima. Mereka memproduksi tableware atau alat makan dan minum, serta perhiasan.
Nama Kandura sendiri diambil dari Bahasa Indonesia lama, ‘khandura’, yang saat ini lebih dikenal dengan kata ‘kenduri’. Kata tersebut berarti selamatan, perayaan, dan jamuan makan. Mereka memakai nama Kandura, karena ingin mengemukakan harapan mereka atas perayaan akan ilmu pengetahuan, sumber daya, dan perealisasian mimpi mereka dalam bentuk keramik.
“Generasi kita yang bikin keramik itu bisa dibilang, enggak ada lagi. Aku dan teman-teman mulai waktu umur 24 tahun. Referensinya juga udah lain dengan angkatan sebelum kami. Karena kami merasa spirit kami beda dengan mereka yang angkatan 1980an dan 1970an, kami mencoba bikin yang sesuai dengan umur kami,” ujar Tisa.
Industri kreatif mereka selami dengan keramik-keramik yang mencirikan kaum muda. Warna yang mereka pilih pun tergolong cerah, seperti merah, merah muda, biru muda, hijau, putih, dan jingga. Mereka menanggalkan warna terakota dari karya mereka, warna yang menjadi ciri khas seniman rakyat. Kandura dibuat dengan estetika dengan tambahan nilai ekonomis.
“Meja kerja kan biasanya penuh banget. Kebayang kalau kita bikin pisin (piring kecil untuk alas cangkir) yang ukurannya lebar, seperti pisin pada umumnya. Akhirnya, si pisinnya kita kecilin dan tempat buat menyimpan teh kita buat di bawah cangkirnya,” Tisa menjelaskan soal cangkir dengan desain unik yang Kandura keluarkan.
Tiga orang perempuan yang entah kebetulan atau tidak, sama-sama berbaju putih duduk di sudut ruangan. Dengan wajah serius, mereka bergelut dengan barang-barang yang ada di meja. Ketiga perempuan tersebut adalah Tisa Granicia, Nuri Fatima, dan Kanya. Mereka sedang mempersiapkan kebutuhan untuk pameran akhir November mendatang bersama Kandura.
Kandura merupakan nama bisnis keramik yang berdiri atas pertemanan Bathsebha Satyaalangghya (Ghia), Tisa Granicia (Tisa), dan Fauzi Prasetya (Fauzi). Di antara usaha keramik seperti F. Widayanto, Jenggala, dan Studio 181 milik Erlina, Kandura termasuk yang termuda. Tahun ini Kandura baru menginjak usia kelima. Mereka memproduksi tableware atau alat makan dan minum, serta perhiasan.
Nama Kandura sendiri diambil dari Bahasa Indonesia lama, ‘khandura’, yang saat ini lebih dikenal dengan kata ‘kenduri’. Kata tersebut berarti selamatan, perayaan, dan jamuan makan. Mereka memakai nama Kandura, karena ingin mengemukakan harapan mereka atas perayaan akan ilmu pengetahuan, sumber daya, dan perealisasian mimpi mereka dalam bentuk keramik.
“Generasi kita yang bikin keramik itu bisa dibilang, enggak ada lagi. Aku dan teman-teman mulai waktu umur 24 tahun. Referensinya juga udah lain dengan angkatan sebelum kami. Karena kami merasa spirit kami beda dengan mereka yang angkatan 1980an dan 1970an, kami mencoba bikin yang sesuai dengan umur kami,” ujar Tisa.
Industri kreatif mereka selami dengan keramik-keramik yang mencirikan kaum muda. Warna yang mereka pilih pun tergolong cerah, seperti merah, merah muda, biru muda, hijau, putih, dan jingga. Mereka menanggalkan warna terakota dari karya mereka, warna yang menjadi ciri khas seniman rakyat. Kandura dibuat dengan estetika dengan tambahan nilai ekonomis.
“Meja kerja kan biasanya penuh banget. Kebayang kalau kita bikin pisin (piring kecil untuk alas cangkir) yang ukurannya lebar, seperti pisin pada umumnya. Akhirnya, si pisinnya kita kecilin dan tempat buat menyimpan teh kita buat di bawah cangkirnya,” Tisa menjelaskan soal cangkir dengan desain unik yang Kandura keluarkan.
Perjalanan Panjang
Berangkat ketertarikan dalam dunia keramik, nama
Kandura muncul di tengah-tengah ketiga sahabat tersebut. Saat mereka baru saja
lulus dari Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB),
masing-masing belum memiliki pekerjaan.
Fauzi yang merupakan lulusan Jurusan Desain Produk, memiliki ide untuk
mengubah bagian samping rumahnya menjadi studio keramik. Ide tersebut disambut
oleh Tisa dan Ghia yang merupakan lulusan Jurusan Kriya Keramik.
Masing-masing dari mereka mengumpulkan modal untuk membeli alat-alat yang menunjang untuk studio keramik mereka. Mulai dari mesin penggiling, tabung gas, tungku keramik, sampai bahan baku tanah liat dan glasir.
Untuk memperkenalkan Kandura kepada publik, mereka mengikuti ajang Pasar Seni ITB 2006. Acara yang diselenggarakan empat tahun sekali oleh FSRD ITB tersebut, memang selalu berhasil mengundang perhatian publik. Saat itu, mereka menjual cangkir yang didesain bisa menaruh sendok di atasnya. Meski dijual dengan harga Rp30.000,-, harga yang cukup mahal untuk sebuah cangkir pada saat itu, Kandura berhasil menjual ratusan cangkir.
Setelah perkenalan mereka di Pasar Seni ITB 2006, mereka mematangkan desain alat-alat makan dan minum dan pemahaman mengenai keramik. Mereka juga menerima proyek yang tidak sepenuhnya berbahan dasar keramik. Dengan latar belakang seni yang kental, mereka, atas nama Kandura, menyelesaikan proyek dari Museum Bank Indonesia dan The Capital Residence, Jakarta. Dana yang mereka dapatkan dari proyek tersebut, mereka jadikan modal untuk membeli bahan baku dan mewujudkan desain yang mereka buat serta kumpulkan yang sudah mereka rencanakan sejak awal.
“Kita mulai punya desain sendiri itu 2009. Tapi proses untuk menciptakan si desain barangnya berlangsung lama. Saat itu, kita udah punya cita-cita mau ngeluarin barang ini-itu. Pokoknya jarak bingungnya itu dari 2006 sampai 2009. Kita beneran mempersiapkan terus, mulai dari bikin website sampai kartu nama,” ujar Tisa sambil tertawa.
Hari-hari sibuk ketiga pendiri Kandura, dilengkapi oleh kehadiran Nuri Fatimah yang merupakan lulusan dari Jurusan Kriya Tekstil FSRD ITB. Nuri bergabung pada tahun 2009. Seniman tekstil ini mewujudkan mimpi Kandura yang ingin melengkapi material kain pada koleksi perangkat makan mereka.
Setelah bergabungnya Nuri dengan Kandura, mereka mengambil langkah baru. Dengan 13 merek dan 18 orang seniman dan desainer lainnya, Kandura membuat sebuah toko bernama Katallog. Mereka memakai sistem patungan untuk toko yang berlokasi di Jalan Dipatiukur tersebut. Namun, karena masalah dana, toko tersebut terpaksa berhenti beroperasi.
Kejadian yang sama kembali dialami Kandura. Hal tersebut terjadi mereka membuka toko atas nama Kandura, di FX, Jakarta. Toko tersebut hanya bertahan satu tahun karena pengeluaran yang lebih besar dari pemasukan. Setelah dua peristiwa tersebut, Kandura memutuskan menitipkan barang pada toko dan berjualan secara online.
Menembus Pasar Internasional
Selama berjalan bersama Kandura, orang-orang di dalamnya tidak hanya memproduksi barang untuk Kandura. Keempat desainer Kandura merupakan seniman yang aktif di berbagai kegiatan seni dan pameran. Selain itu, mereka juga memperhatikan kesempatan-kesempatan untuk jam terbang mereka di dunia seni.
Pada 2010, Ghia yang sedang menjalani kuliah di Spanyol, mendapati designboom mart yang membuka pendaftaran untuk peserta pameran. Designboom mart adalah situs internet yang berbasis di Italia, yang khusus membahas karya-karya seni, desain produk, dan arsitektur. Acara tersebut berhasil ditembus Kandura.
Selain berpartisipasi di acara tersebut, Kandura menjual produknya di sebuah toko bernama Gnomo di Spanyol. Baru-baru ini juga mereka menjual rangkaian perhiasan dari keramik, di sebuah toko bernama Nana and Bird di Singapura.
Seniman Keramik Muda Masih Jarang
Kandura memang termasuk ke dalam seniman keramik muda. Mereka juga memiliki pakem-pakem tersendiri dalam berkarya. Orang awam sering merasa sesuatu yang memiliki sentuhan modern akan mengikis hal yang berbau tradisional. Seperti halnya kandura yang tidak sepenuhnya menampilkan unsur tradisional dalam karya mereka.
“Dalam dunia seni itu enggak ada istilah anak tiri atau berbeda. Sekarang semua istilah tersebut sudah cair, karena masing-masing memang sudah punya segmen. Lagipula kreativitas tidak bisa dibatasi,” ujar Ayoeningsih Dyah Woelandhary, dosen seni keramik Sekolah Tinggi Seni Indonesia, Bandung.
Perbedaan antara Kandura dengan karya tradisional yang sering ditemui masyarakat di berbagai sentra kerajinan tradisional memang kentara. Kandura mengangkat tema yang segar dengan sentuhan tangan muda, sedangkan kerajinan tradisional cenderung serupa dan ciri dari satu merek dan lainnya bias.
Kandura yang tergolong seniman dari kalangan akademisi (seniman akademisi) memang lebih menampilkan sesuatu yang personal, sesuai dengan prinsip mereka. Menurut Ayoeningsih, seniman akademisi akan menampilkan sesuatu yang spesifik akan karakternya. Berbeda dengan seniman rakyat yang membuat sesuatu yang sudah turun temurun.
“Seniman muda yang bergelut di seni keramik masih sedikit. Lagipula keramik memang proses pembuatannya sangat panjang dan terhitung mahal,” ujar Ayoeningsih.
Seni keramik memang masih belum terlalu digandrungi oleh kalangan muda. Biaya dan resiko yang cukup besar, merupakan suatu tantangan tersendiri. Kehadiran Kandura dalam dunia keramik memberi angin segar dalam industri kreatif negeri ini.
“Orang berduit dan punya idealisme di dunia ini masih banyak kok,” ujar Ayoeningsih menanggapi Kandura yang acap kali mengalami kekurangan dana.
Comments
Post a Comment